Senin, 06 Mei 2013

Sejarah Awal Hizbut Tahrir masuk di Indonesia




Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik trans-nasional (lintas negara). Oleh karenanya hizbut tahrir bergerak dan beraktivitas di lebih dari 40 negara di 5 benua. Pergerakan hizbut tahrir bergerak dan menyebar ke seluruh dunia adalah saat kepimpinan amir hizb yang kedua yakni Al-’Alim al-Kabîr Syaikh Abdul Qadim bin Yusuf bin Abdul Qadim bin Yunus bin Ibrahim.
Al-’Alim al-Kabîr Syaikh Abdul Qadim Zallum berjumpa dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh pada tahun 1952. Lalu Syaikh Zallum pergi ke al-Quds untuk bergabung dengan Syaikh Taqiyuddin dan melakukan kajian serta berdiskusi seputar masalah partai (Hizb). Beliau telah bergabung dengan Hizbut Tahrir sejak awal mula aktivitas Hizb. Beliau menjadi anggota qiyâdah Hizb sejak tahun 1956 M.
Syaikh Abdurrahman al baghdadiy bersama K.H Muhammad Shiddiq al jawi
Syaikh Abdurrahman al baghdadiy bersama K.H Muhammad Shiddiq al jawi
Ketika Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh wafat pada saat fajar hari Ahad bertepatan dengan tanggal 11 Desember 1977 M, tampuk kepemimpinan berada pada tangan Al-’Alim al-Kabîr Syaikh Abdul Qadim Zallum. Beliau mengemban amanah ini dan menjalankannya dari satu dataran tinggi ke dataran tinggi yang lain. Beliau lantang berdakwah. Medan dakwah pun semakin meluas hingga mencapai kaum Muslim di Asia Tengah dan Asia Tenggara. Bahkan gaung dakwah bergema di Eropa dan benua lainnya, termasuk ke wilayah negara Indonesia. Masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia adalah saat K.H Abdullah bin Nuh atau yang lebih dikenal dengan panggilan ‘Mamak’ mengajak Syaikh Abdurrahman al Baghdadiy ke Indonesia.
K.H Abdullah bin Nuh ‘Mamak’ adalah seorang ulama, tokoh pendidikan, sastrawan dan pejuang. Pria shalih yang lahir di Kampung Meron Kaum, Kota Cianjur Jawa Barat pada tanggal 6 Juni 1905 ini, melalui tabanni pendapat Imam Al-Ghazali, sangat gigih menyerukan agar masyarakat berpegang teguh pada ajaran atau syariah Islam.
kh-abdullah-bin-nuhKetika beliau sedang berkunjung ke Australia dan bertemu dengan seorang ulama aktivis Hizbut Tahrir—yang sedang menyampaikan ceramah tentang kewajiban persatuan umat dan kewajiban menegakkan Khilafah guna melawan hegemoni penjajahan dunia—Mamak cukup tertarik dan memberikan perhatian.
Beliaulah ulama yang pertama mendukung perkembangan dakwah Hizbut Tahrir di Indonesia. Peran KH Abdullah bin Nuh terhadap Hizbut Tahrir sebatas memberikan dukungan. Sekalipun demikian, apa yang dilakukan beliau cukup besar pengaruhnya terhadap perkembangan dakwah Hizbut Tahrir di Indonesia, karena sekitar tahun 1980-an dakwah Hizbut Tahrir di Indonesia belum dikenal masyarakat dan baru dimulai.
Adapun keterlibatan anak-anak beliau pada aktifitas dakwah Hizbut Tahrir tidak nampak, kecuali pada anak yang keenam Raden Haji Toto Mustafa saat kuliah di Yordania. Akan tetapi ketika kembali ke Indonesia tidak aktif lagi di Hizbut Tahrir. Justru dari keluarga kakak Abdullah bin Nuh, yaitu Raden Haji Qosim bin Nuh, banyak sekali cucu-cucunya yang aktif dakwah di Hizbut Tahrir. Bahkan diantara mereka ada yang menjadi pimpinan daerah dan pengurus HTI di daerah. Antara lain: Eri Muhammad Ridwan bin Nasikin Qosnuh bin Qosim bin Nuh sebagai Humas HTI Cianjur; Ummu Hana (menantunya) sebagai ketua DPD II Muslimah HTI wilayah Cianjur; Raden Deni bin Nasikin Qosnuh bin Qosim bin Nuh sebagai ketua DPD II HTI wilayah Sukabumi; Dan Raden Muhammad Musa Nasikin Qosnuh bin Qosim bin Nuh sebagai ketua DPD II HTI wilayah Cianjur .
saya jadi teringat cerita salah seorang syabab HTI yang berkunjung ke salah seorang ‘ulama. dimana ‘ulama tersebut mengopinikan negatif tentang Hizbut Tahrir. syabab tersebut berkunjung dengan maksud silaturrahim dan ingin klarifikasi. sang ‘ulama tersebut tetap bercerita tentang hizbut tahrir yang negatif. syabab kemudian melihat foto K.H Abdullah bin Nuh di salah satu pojok dinding rumah tersebut. syabab tersebut berkata, “ya Kyai, tahukah kyai siapa yang kali pertama membawa Hizbut Tahrir ke Indonesia?”
sang Kyai bertanya, “siapa?”
syabab tersbut menjawab, “itu beliau yang fotonya ada di dinding rumah Kyai”
sang kyai kaget dan spontan berkata “lha.. kalau begitu hizbut tahrir itu bagus dong”
jwab syabab kemudian “ya bagus Kyai” sembari tersenyum.
Memang satu di antara tokoh yang terlupakan oleh catatan sejarah adalah KH Abdullah bin Nuh, seorang ulama besar asal Cianjur. Dalam makalahnya yang berjudul “Mengenal Perjuangan KH Abdullah bin Nuh”, Drs Reiza D Dienaputra M Hum, mengungkapkan, nama Abdullah bin Nuh seakan tenggelam oleh nama-nama besar, seperti Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, KH Achmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, KH Zaenal Mustafa (Singaparna), Ir Soekarno, Mohammad Hatta, Tuanku Imam Bonjol, dan Buya Hamka.
Beberapa waktu yang lalu juga tim Lajnah Khusus Ulama HTI Balikpapan bersama anggota LKU HTI Gus Juned Ath-Thayyibi berkunjung ke Ponpes Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, Balikpapan Kaltim dan diterima langsung oleh Pimpinan Pondok yaitu Prof. DR. KH. Achmad Syarwani Zuhri Al- Banjari yang beliau sekaligus juga adalah Ketua Umum MUI Kota Balikpapan. Saat itu Gus Juned juga menyampaikan yang membawa HT pertama kali ke Indonesia adalah Mamak Abdullah bin Nuh Ponpes AlGhazali Bogor, ternyata KH Syarwani juga mengenal beliau dengan baik dan sempat bertemu dengan Mamak di Makkah.
abdurrahman al baghdadiyPemikiran-pemikiran HT yang diperkenalkan Al-Baghdadi, rupanya mampu menarik perhatian aktivis masjid kampus ini. Mulailah dibuat halaqah – halaqah kecil untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Buku-buku HT, seperti Syaksiyah Islamiyah, Fikrul Islam, Nizhamul Islam pun dikaji serius. Melalui Jaringan Lembaga Dakwah Kampus inilah, ajaran HTI menyebar ke kampus-kampus diluar bogor seperti Upad, IKIP Malang, Unair, Unhas dan akhirnya menyebar keseluruh Indonesia. Bahkan DR. Adian Husaini dalam artikel tentang biografi nya menuliskan bahwa beliau mengkaji berbagai pemikiran Islam kepada Ustad Abdurrahman al-Baghdadi yang sangat ’alim dalam ilmu keagamaan.
Menurut Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ustadz Ismail Yusanto bahwa dakwah model Hizbut Tahrir memang lambat di awal. Untuk menjadikan matang, satu halaqah yang biasanya diikuti oleh kurang lebih 5 orang, misalnya, diperlukan waktu bertahun-tahun. Mengapa waktu yang diperlukan begitu panjang? Karena kitab atau buku pembinaan yang harus dikaji cukup banyak. Belum lagi metode pangkajian kitab yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab, yang harus dibaca paragraf demi paragraf, kemudian dijelaskan isi dan pengertiannya oleh musyrif (pembina halaqah), yang membuat halaqah memang tidak mungkin diselenggarakan secara kilat. Belum lagi waktu untuk menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan dari para peserta halaqah. Ditambah dengan nasyrah-nasyrah (selebaran) yang merupakan materi lepas, tetapi dianggap penting untuk disampaikan kepada para peserta, membuat materi dalam halaqah menjadi semakin banyak. Walhasil, waktu yang diperlukan juga menjadi semakin panjang sehingga pertumbuhan jumlah kader yang dihasilkan juga menjadi sangat lambat. Percaya atau tidak, 10 tahun pertama dakwah HT di Indonesia hanya dihasilkan 17 orang kader. Itu artinya, satu tahun dihasilkan 1,7 kader. Ini tentu jumlah yang amat sangat sedikit, dan merupakan pencapaian dakwah yang amat lambat.
Namun, seiring dengan waktu, perkembangan dakwah makin lama makin cepat karena efek duplikasi. Jika 10 tahun pertama hanya dihasilkan 17 orang, 10 tahun kedua—jika perkembangannya linier—mestinya hanya menghasilkan 34 orang, tetapi ternyata tidak seperti itu. Perkembangan dakwah HTI tumbuh secara eksponensial. Dakwah yang semula hanya berkutat di satu atau beberapa kota dengan hasil belasan kader, pada 10 tahun kedua ternyata sudah berkembang di seluruh Indonesia. Sekarang, di pertengahan 10 tahun ketiga, dakwah HTI sudah tersebar di 33 propinsi, di lebih 300 kota dan kabupaten. Bahkan sebagiannya telah merambah jauh hingga ke pelosok. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Alanisa blog's Blogger Template by Ipietoon Blogger Template