“Menyingkap kebenaran Kisah Cinta Zulaikha dan Nabi Yusuf as.”
Tetapi pada prakteknya banyak kisah kisah yang sifatnya “israiliyat” beredar disekitar kita, bahkan di masyarakat Indonesia , selain kisah israiliyat juga berkembang mitos, seperti kalo orang yang hamil pingin anaknya seganteng nabi Yusuf maka sering seringlah baca surat Yusuf. he…he..pasti banyak yang mengangguk angguk ya…
bahkan banyak juga di seputar resepsi pernikahan, sang ustad mendoakan pasangan pengantinnya dengan doa seperti ini
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا
وَمُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ جَمْعَهُمَا فِى
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَقُرَّةَ
أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ
وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan
perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam
dan Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan
Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan
keduanya di dunia dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’
kepada keduanya. Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap
agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu,
wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”
He..he..sampai disini yang sudah mempraktekannya ayo angkat tangan!
ternyata berdoapun harus jeli ya.
Yup.seratus! kita harus jeli ketika kita membaca literatur litarur
teruatama yg berkaitan dengan kisah kisah, spesial buat kisah nabi yusuf
ini kita memang sedari kecil terbiasa mendengar kisah tentang kisah
indah tentang nabi yusuf, di mulai dari segi kegantengan nabi Yusuf yang
di gambarkan keindahannya ibarat sepauh bulan purnama.hingga istri
Qatifar yang agung (al Aziz) yang sebetulnya adalah ibu angkat Nabi
yusuf ini menjebak nabi yusuf, hingga menyebabkan beliau di penjara.
Jika kisahnya hanya sampai di sini sebetulnya hampir tidak ada perbedaan,karena al quranpun menenrangkan hingga sampai di sini.
tetapi jika kemudian di bumbui dengan menikahnya Zulaikha dengan
Nabi Yusuf, apalagi kemudian ada juga yang meriwayatkan bahwa kemudian
Zulaikha menjadi muda kembali, wow…asyik bacanya ya..seru! tapi, kembali
kita harus teliti akan kebenaran Riwayat tersebut.
palagi jika di dalam Alquran tidak disinggung sedikitpun tentang
pernikahan antara Nabi Yusuf dan Zulaikha, bahkan Alquran menggambarkan
bahwa Zulaikha adalah perempuan yang tidak baik, yang mendurhakai
suaminya, serta menggoda Nabi Yusuf untuk melakukan perbuatan mesum.
Pertanyaannya, “Benarkah Nabi Yusuf dan Zulaikha menikah, dan menjadi
pasangan sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng ke anak cucu,
sebagaimana yang diceritakan secara turun temurun?” Atau, “Apakah kisah
ini hanya israliyat yang tidak berdasar?”
Agar pemahaman kita menyeluruh, ada baiknya jika kita memahami dahulu apa sebenarnya definisi israiliyat.
Definisi kisah Isra’iliyat
Riwayat isra’iliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal
dari Bani Isra’il atau bangsa Yahudi, dari kitab suci mereka, yakni
Taurat, buku-buku penjelasannya, dari Talmud dan penjelasannya,
kisah-kisah, dongeng, kurafat dan kisah yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya. Terkadang, para peneliti mengaitkan
kisah-kisah dan informasi yang berasal dari Nasrani (injil, surat-surat
paulus, dan berbagai buku penjelasannya) termasuk dalam riwayat
isra’iliyat.
Banyak riwayat dari Nabi Saw yang menjelaskan posisi
umat Islam ketika berhadapan dengan riwayat-riwayat isra’iliyat; ada
yang melarang, membolehkan dan tidak melarang sekaligus tidak
membolehkan. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah, Nabi Saw
bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي
إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
“Sampaikan dariku walau satu ayat. Ceritakanlah dari
Bani isra’il, dan tidak ada larangan. Siapa berdusta dengan sengaja
terhadapku, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
Hadis pembolehan seperti ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis, diantaranya Shahih al-Bukhari dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan at-Tirmidzi dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan ad-Darimi dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, dan Musnad Imam Ahmad dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh dan Abû Sa`îd al-Khudri, serta Shahih Ibnu Hibban dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh.
Sedangkan hadis yang melarang adalah:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ
الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ
جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ
عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ
فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ
يَتَّبِعَنِيِِِِ.
“Umar Ibnu al-Khaththab memberikan satu buku dari Ahli Kitab, lalu
Nabi membacanya dan marah, serta bersabda, “Apakah kamu kagum dengan
buku ini wahai anak al-Khaththab? Demi Tuhan yang diriku berada dalam
genggaman-Nya, sungguh yang aku berikan kepada kamu (Alquran) yang
terang lagi murni. Janganlah kamu bertanya sesuatupun kepada Ahli Kitab,
sehingga mereka mengabarkan kepada kamu yang benar lalu kamu dustai
atau mereka kabarkan yang batil lalu kamu benarkan. Demi diriku yang
berada dalam genggaman-Nya, jika Nabi Musa as hidup sekarang, tidak ada
pilihan baginya kecuali mengikutiku.” (HR. Imam Ahmad dalam al-Musnad).
Hadis yang ketiga adalah hadis yang tidak membolehkan tidak pula melarang periwayatan isra’iliyat. Nabi Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ
أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ
وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا {آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا
أُنْزِلَ إِلَيْنَا} الْآيَةَ.
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan Taurat
dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat
Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan
jangan pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan
kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).
Tiga riwayat di atas seolah bertentangan, namun jika ditelusuri
lebih dalam, sama sekali tidak ada pertentangan di antara tiga riwayat
tersebut.
Hukum Meriwayatkan Israiliyat
Dalam menanggapi tiga riwayat yang seolah bertentangan
di atas, ulama tafsir mengklasifikasikan riwayat-riwayat isra’iliyat
menjadi tiga kelompok.
Pertama, riwayat-riwayat isra’iliyat yang bertentang dengan
Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini haram diriwayatkan jika tidak
menjelaskan kebatilannya. Inilah yang dimaksud dalam larang Nabi pada
hadis Umar bin al-Khaththab di atas. Diantara contoh riwayat seperti ini
adalah kisah Nabi Sulaiman. Pada suatu saat Nabi Sulaiman ingin ke
kamar mandi, dan menitipkan cincinnya kepada salah satu istrinya. Iblis
pun menyerupai Nabi Sulaiman, lalu datang kepada istrinya dan meminta
cincin yang dititipkan oleh Nabi Sulaiman. Istrinya menyangka yang
datang adalah Nabi Sulaiman, dan memberi cincin tersebut. Dengan cincin
itu, Iblis menguasai kerajaan Nabi Sulaiman dan memerintah dengan sesuka
hatinya dan zalim.
Ketika keluar dari kamar mandi, Nabi Sulaiman yang asli
datang kepada istrinya untuk meminta cincin yang telah dititipkannya.
Istrinya mengatakan, “Bukankah cincin tersebut telah kuberikan kepada
Sulaiman!” Nabi Sulaiman yang asli pun terdiam dan hanya bisa pasrah.
Sedangkan Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman terus menguasai kerajaan
dengan zalim, sampai pada akhirnya istri Nabi Sulaiman curiga karena
Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman tersebut menggauli istrinya dalam
keadaan haidh, sedangkan Nabi Sulaiman yang asli tidak pernah menggauli
istrinya dalam kaeadaan demikian.
Tidak diragukan lagi bahwa kisah ini jelas bertentangan
dengan Alquran dan sunnah, sehingga tidak sedikit pun dari riwayat ini
dapat dijadikan hujjah. Bahkan harus dijauhkan dari kitab-kitab keislaman.
Kedua, riwayat-riwayat isra’iliyat yang sesuai
dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh diriwayatkan,
karena hadis pembolehan dari hadis Nabi di atas, “Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan.”
Banyak kasus bahwa para sahabat menerima dan membenarkan cerita Ahli
Kitab yang sesuai dengan Alquran atau sunnah, walaupun kebenaran itu
hanya satu dari beberapa kemungkinan penafsiran terhadap ayat Alquran
atau hadis tersebut.
Pada suatu hari, seorang Yahudi datang kepada Ali bin
Abi Thalib, Ali pun bertanya, “Di mana neraka?” Orang Yahudi tersebut
menjawab, “Di laut.” Lalu Ali berkomentar terhadap jawaban tersebut,
“Jawabannya benar, karena Allah berfirman, “Dan apabila lautan
dipanaskan.” (QS. At-Takwir [81]: 6). Ali membenarkan jawaban orang
Yahudi tersebut walaupun hanya satu dari beberapa kemungkinan penafsiran
dari ayat itu.
Ketiga, riwayat isra’iliyat yang tidak
bertentangan dengan ayat Alquran atau sunnah, serta tidak pula sesuai
dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh diriwayatkan,
walaupun tidak menerangkan keisra’iliyatannya. Inilah yang dimaksud dari
hadis nabi:
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan Taurat
dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat
Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan
jangan pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan
kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).
menurut Ustad Muhammad Arifin Jahari seorang ustad
lulusan Tafsir Ilmu alquran dari Al Ahzar Univercity.cairo mesir,
bahwa Alquran tidak menyebutkan nama Zulaikha atau nama yang lain.
Alquran hanya menyebut “istri al-Aziz.” Allah berfirman:
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ
تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا
لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “Istri
al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya,
palayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia
dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf [12]: 30).
Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau lebih masyhur dengan nama Tafsir al-Manar
menjelaskan bahwa Alquran tidak menyebutkan sama sekali nama istri
al-Aziz bahkan nama al-Aziz itu sendiri. Alquran sama sekali tidak
mementingkan nama tersebut, karena Alquran bukan kitab sejarah. Tujuan
pengkisahan dalam Alquran, bukan untuk mengungkap fakta sejarah, namun
untuk menjadikannya sebagai ibrah, pelajaran, dan hikmah yang dapat
diambil dan diteladani dalam kehidupan. Jadi nama seperti ini tidak
perlu disebutkan.Ibnu Katsier menyebutkan nama Zulaikha, namun beliau juga hanya menggunakan istilah ’qiila’, konon. Namun, beliau juga mengatakan perihal, ”Kebanyakan penafsir dalam hal ini mengambil kitab-kitabnya ahli kitab, fal i’radh ’anhu aula (sedangkan berpaling darinya itu lebih utama). Demikian beliau sebutkan dalam kitabnya Qishash al-Anbiya’, tatkala mengisahkan tentang Nabi Yusuf AS.
Pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha
Dalam kitab-kitab tafsir banyak yang menceritakan
pernikahan Zulaikha dengan Nabi Yusuf as. Imam ath-Thabari meriwayatkan
dari Muhammad bin Ishaq bahwa ketika Nabi Yusuf keluar dari penjara dan
menawarkan diri menjadi bendaharawan Negara, Firaun pada masa itu
menempatkan Nabi Yusuf di posisi al-Aziz yang membelinya. Al-Aziz pun
dicopot dari kedudukannya. Tak berapa lama kemudian, al-Aziz meningga
dunia, dan Firaun menikahkan Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz,
Ra’il. Terjadilah dialog romantis antara Ra’il dan Nabi Yusuf:
“Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat
daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan
hasratmu”. Lalu Ra’il menjawab dengan jawaban diplomatis dan romantis, “Wahai
orang yang terpercaya, janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu
itu, ketika kita bertemu dulu jujur dan akuilah bahwa di matamu akupun
cantik dan mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan dan segalanya
aku punya, namun ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau
menjamah perempuan manapun termasuk aku, lantas akupun mengakui dengan
sepenuh hatiku akan karunia Allah yang diberikan atas ketampanan dan
keperkasaan dirimu.” Nabi Yusuf mendapatkan bahwa Ra’il masih
perawan. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak laki laki, Afra’im
(Efraim) dan Misya (Manasye). Imam ath-Thabari dan muhaqqiq tafsirnya tidak menjelaskan keisra’iliyatan riwayat ini.
Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh banyak mufassir, diantaranya Imam Fakr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, Imam az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf `an Haqa’iq at-Tanzil wa `Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, dll.
Selain kisah di atas, Imam as-Suyuthi meriwayatkan kisah lain dari
Abdullah bin Munabbih, dari ayahnya, yakni ketika Yusuf lewat di sebuah
jalan, mantan istri al-Aziz menampakkan diri sembari berkata, “Segala
puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai budak karena maksiat
kepada-Nya, dan menjadikan budak sebagai penguasa karena taat
kepada-Nya.” Yusuf pun mengetahuinya lalu menikahinya, dan Yusuf
mendapatinya mantan istri al-Aziz tersebut perawan karena al-Aziz tidak
mampu menjamah perempuan.Kisah yang mirip juga diriwayatkan oleh Fudhail
bin `Iyadh.
Kisah yang ketiga mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri
al-Aziz diceritakan juga oleh Imam as-Sayuthi dari Wahab bin Munabbih,
yakni ketika mantan istri al-Aziz memiliki suatu keperluan, lalu ada
yang mengatakan kepada, “Jika engkau minta bantuan kepada Yusuf pasti
akan dipenuhinya.” Mantan Istri al-Aziz pun minta pendapat kepada
orang-orang, mereka mengatakan, “Jangan engkau lakukan, karena kami
khawatir terhadapmu.” Mantan Istri al-Aziz pun berkomentar, “Saya tidak
takut kepada orang (Yusuf) yang takut kepada Allah.” Dia pun datang
menghadap Yusuf dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan
hamba sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Ketika mantan istri
al-Aziz tersebut melihat dirinya, dia berkata, “Segala puji bagi Allah
yang menjadikan penguasa sebagai hamba karena maksiat kepada-Nya.” Yusuf
memenuhi kebutuhan mantan istri al-Aziz, lalu menikahinya dan dia
mendapatinya dalam keadaan perawan. Yusuf pun berkata, “Bukankah
kesempatan ini lebih baik dan terhormat dari pada pertemuan yang lalu?”
Mantan istri al-Aziz pun menjawab, “Ada empat hal yang membuatku
melakukan hal itu: pertama, engkau adalah orang tertampan; kedua, aku adalah orang yang tercantik di masaku; ketiga, aku masih perawan; dan keempat, suamiku adalah orang yang impoten.”
Al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menceritakan kisah yang panjang
mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Zulaikha’
ditinggal mati suaminya ketika Yusuf masih dalam penjara. Sedangkan
Zulaikha’ senantiasa merindu Nabi Yusuf sampai matanya buta karena
tangisannya. Zulaikha’ pun hidup sengsara, tidak ada yang peduli
dengannya. Setiap kali Nabi Yusuf lewat pada sebuah jalan, Zulaikha’ pun
menantinya. Sampai diusulkan kepadanya untuk mengadukan nasib kepada
Nabi Yusuf. Namun sebagian orang melarangnya karena perbuatan jahatnya
terhadap Yusuf dahulu. Ketika Yusuf lewat, Zulaikha’ mengatakan dengan
suara tinggi, “Maha suci Tuhan yang menjadikan penguasa menjadi budak
karena kemaksiatannya, dan menjadi budak menjadi penguasa karena
ketaatannya.” Yusuf pun mengetahui hal itu, lalu dia memerintahkan untuk
membawa Zulaikha’ ke hadapannya. Setelah bertemu, Zulaikha’ mengadukan
segala penderitaan yang diembannya. Nabi Yusuf menangis mendengarkan
cerita itu, dan bertanya, “Masih tersisakah rasa cintamu terhadapku?
Zulaikha’ pun menjawab, “Demi Allah, melihatmu lebih aku cintai dari
dunia dan seisinya.” Tangisan Yusuf pun menjadi-jadi, sampai dia pulang
ke rumah. Yusuf terus berfikir akan hal ini, hingga dia mengambil
keputusan untuk mengirimkan utusan kepada Zulaikha’ dan berkata, “Jika
engkau janda maukah menikah denganku? Dan jika engkau masih berkeluarga,
aku akan mencukupimu.” Zulaikha’ menjawab, “Aku berlindung kepada
Allah, jika Yusuf memperolokku. Dia tidak menginginkanku ketika aku
masih muda, memiliki harta dan kedudukan. Sekarang, dia mau menikahiku
di saat aku fakir, buta, dan renta.” Nabi Yusuf memerintahkan Zulaikha’
untuk bersiap-siap menghadapi pernikahan. Lalu dia shalat dan berdoa
kepada Allah untuk mengembalikan Zulaikha’ menjadi muda, cantik, dan
dapat melihat. Mereka pun menikah, dan Nabi Yusuf mendapati Zulaikha’
dalam keadaan perawan, karena suaminya dahulu impoten.
Mereka hidup bahagia dan melahirkan dua orang putra. Nabi Yusuf
sangat mencintai istrinya tersebut, namun, ketika istrinya sudah
merasakan cinta Allah, dia pun melupakan segala sesuatu, hanya Allah
yang ada dalam hatinya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Qurthubi
dari Wahab bin Munabbih.
Walau Imam al-Qurthubi tidak mengomentari keisra’iliyatan kisah ini, muhaqqiq tafsirnya, Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Dr. Muhmud Hamid Utsman menjelaskan bahwa kisah ini sama sekali tidak benar.
Dalam riwayat yang lain, Imam as-Suyuthi meriwayatkan dari Zaid bin
Aslam bahwa Nabi Yusuf menikahi mantan istri al-Aziz dalam keadaan
perawan, karena suaminya (al-Aziz) impoten.
Dari penjelasan di atas, keterangan menikahnya Nabi Yusuf dengan
mantan istri al-Aziz didapati setidaknya dari empat orang: Muhammad bin
Ishaq, Wahhab bin Munabbih, Fudhail bin `Iyadh, dan Zaid bin Aslam.
Selain diantara mereka terkenal meriwayatkan riwayat-riwayat
isra’iliyat, seperti Wahab bin Munabbih dan Muhammad bin Ishaq, keempat
perawi a`la ini adalah tabi’in, kecuali Fudhail bin `Iyadh,
beliau adalah tabi’ tabi’in. Dalam meriwayatkan kisah di atas, mereka
tidak menisbahkannya kepada sahabat nabi atau kepada Nabi Muhammad, tapi
mereka nisbahkan kepada diri mereka sendiri. Ini berarti riwayatnya
terputus.
Untuk menilai riwayat-riwayat di atas, setidaknya penulis
menggunakan tiga penilaian: penilaian ulama hadis, ulama tafsir, dan
ulama tarikh (sejarah). Ulama hadis sepakat, riwayat seperti ini dinilai
lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya,
ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan
sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar
periwayatan hadis, yang berkaitan dengan agama.
Sedangkan ulama tafsir berbeda pendapat dalam menerima atau menolak
riwayat seperti ini. Keterangan ini, setidaknya dilihat dari dua sisi. Pertama,
riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’in. Menurut sebagian mufassir,
jika riwayatnya shahih, walau berasal dari tabi’in, maka hal ini dapat
digolongkan dalam tafsir bil ma’tsur. Namun, ulama tafsir yang lain berpendapat bahwa ungkapan tabi’in tidak terhitung dalam tafsir bil ma’tsur, tapi tergolong dalam tafsir bir ra’yi, jadi boleh diterima boleh tidak karena hanya sebatas pendapat tabi’in saja. Sisi yang kedua
kembali pada hukum periwayatan isra’iliyat di atas. Jika diteliti,
riwayat-riwayat di atas tidak bertentangan dengan Alquran, hadis,
akidah, atau merusak ibadah, karena hanya berkaitan dengan penamaan
istri al-Aziz dan status nikah atau tidaknya antara Nabi Yusuf dengan
mantan istri al-Aziz. Yakin atau tidaknya seseorang akan hal itu tidak
sampai merusak akidahnya. Selain itu, riwayat-riwayat ini juga tidak
didukung oleh Alquran dan hadis-hadis baginda Muhammad Saw. Sebagaimana
telah dijelaskan, hukum meriwayatkan riwayat seperti ini tidak menjadi
masalah, atau boleh, walaupun tidak menjelaskan status
keisra’iliyatannya. Jadi wajar ketika ulama tafsir memasukkan riwayat
seperti ini dalam tafsir mereka, dan mereka tidak menjelaskan statusnya.
Semoga bisa memberikan pencerahan ya…
Boleh jadi Nabi Yusuf menikah dengan Zulaikha, dan boleh jadi tidak, karena Nabi Saw sendiri mengatakan, jangan kau benarkan dan jangan pula kau dustakan, karna itu kalau berdoa tidak usah masukkan Yusuf dan Zulaikha, tapi cukup Adam dan Hawa, Ibrahim dan Hijr, serta Muhammad Saw dan Khadijah, okey.....
BalasHapusAku kurang setuju dengan pendapat tafsiran penemuan mu...
BalasHapusku harap lebih berhati2 dlm mnulis.. sebab ini mnyngkut agama, dan ke imnan km....