Kepemimpinan Wanita Menurut Pandangan Islam
Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran, beliau berkata,
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.”
Hadis
tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal,
meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah
sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak
diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-’Arabiy merupakan
konsensus para ulama.
Sedangkan
untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin
daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para
ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang
dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari
kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam
Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak
berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab,
bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun
terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah
kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang
wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan
Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam
urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan
memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan
dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn
Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam
permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin
daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau,
kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh
sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa,
sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya,
menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk
menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia,
(tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka
keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang
telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
0 komentar:
Posting Komentar